Musim baru untuk dunia sepakbola di Eropa telah
bergulir. Sebagian dari liga-liga top-flight
Eropa bahkan sudah memasuki pekan ke-3. Sebelum membicarakan lebih lanjut,
mari kita lihat ke musim sebelumnya. Liga-liga besar Eropa berjalan seperti
biasanya dan pada akhir musim akan menghasilkan satu klub sebagai pemuncak
tahta.
Di Inggris, drama persaingan tersaji hingga ke matchday 38 untuk menentukan siapa yang
pantas merebut puncak klasemen akhir. Di Spanyol, dominasi selama tiga musim
berturut-turut berakhir dan sang pengoleksi gelar terbanyak akhirnya berhasil
menambah trofi La Liga-nya. Di Jerman, sang juara bertahan berhasil
mempertahankan gelar mereka dan menciptakan bintang-bintang baru di dunia
sepakbola. Di Italia, muncul sebuah tim unbeaten
yang berhasil kembali merengkuh gelar juara pertamanya sejak kembali ke Serie A
pada musim 2007/2008. Di Belanda, sang juara musim sebelumnya berhasil
melakukan back-to-back dan
mempertajam dominasi mereka dengan 31 gelar Eredivisie. Semua terlihat wajar
dan berjalan sebagaimana semestinya. Lalu sebuah kejutan datang dari Liga
Prancis.
Orang yang sudah lama menggemari dunia
sepakbola atau baru saja menjadi fans olahraga ini setidaknya mengetahui
beberapa klub dari negara yang mempunyai motto Liberte, Egalite, Fraternite
ini. Beberapa orang akan menyebut Lyon, Marseille, PSG, dan Bordeaux. Mungkin
para ahli sejarah akan menyebut Saint-Etienne, Nantes, dan juga Monaco. Mereka
hanya bagian dari masa lalu.
Trofi Liga Prancis jatuh ke tangan Montpellier
Herault Sport Club. Sebuah klub yang mungkin tak pernah diperhatikan oleh para
penikmat bola mainstream. Sebuah klub
yang pernah menjadi tempat bermain Eric Cantona, Laurent Blanc, Carlos
Valderrama, dan Roger Milla. Sebuah klub di kota Montpellier yang terletak di
bagian selatan Prancis. Sebuah klub yang baru saja kembali ke Ligue 1 pada
musim 2009/2010 dan berhasil lolos ke Europa League setelah finish di urutan ke-5 pada comeback mereka di level teratas
persepakbolaan Prancis di bawah pimpinan Rene Girard, sang pelatih. Sebuah klub
yang baru berdiri pada tahun 1974 dan memiliki presiden klub yang eksentrik
sekaligus sering mengeluarkan pernyataan nyeleneh
layaknya Aurelio De Laurentiis (Napoli) dan Maurizio Zamparini (Palermo), Louis Nicollin.
Siapa yang menyangka klub ini akan menjuarai
Ligue 1 untuk pertama kalinya di era sepakbola seperti sekarang? Era dimana
uang mampu membawa kejayaan secara cepat walau tidak instan. Lagipula, di sana
ada tim kaya raya baru berkat limpahan harta dari Qatar, Paris
Saint-Germain. Di luar prediksi para pundit, mereka mampu membuat klub dari
ibukota Prancis itu hanya bertengger di peringkat ke-2. Membuat para penggemar
sepakbola berpikir bahwa masih ada keajaiban yang sanggup mengalahkan kekuatan
uang.
Bagaimana nasib mereka di musim ini? Mereka
hanya kehilangan Olivier Giroud, sang top skorer Ligue 1 bersama Nene dari PSG
dengan 21 gol, ke Arsenal serta Geoffrey Dernis ke Brest dari the winning team mereka. Mereka mampu
menjaga pemain-pemain mereka dari incaran klub-klub besar Eropa, seperti Younes
Belhanda, Henri Bedimo, dan sang kapten, Mapou Yanga-Mbiwa. Mereka punya alasan
kuat untuk tetap bertahan di Montpellier karena tim ini berkompetisi di
Champions League, level tertinggi dari kompetisi antarklub Eropa. Montpellier
juga menambah daya gedor dengan membeli tiga striker tambahan untuk
menggantikan Giroud. Emmanuel Herrera (Union Espanola), Anthony Mounier (OGC
Nice) dan Gaetan Charbonnier (Angers SCO).
Semua itu belum cukup untuk menampilkan
performa terbaik mereka di laga resmi. Musim mereka dimulai dengan kekalahan
dari Lyon melalui babak adu penalti 2-4 setelah bermain imbang 2-2 di waktu
normal pada pertandingan Trophee Des Champions yang mempertemukan juara Ligue 1
dan juara Coupe de France ini. Di Ligue 1 pun sama saja. Mereka belum pernah
meraih kemenangan dalam 3 pertandingan. Setelah ditahan imbang Toulouse 1-1 di
kandang sendiri, mereka kalah di tangan Lorient 2-1, dan kemudian kembali kalah
di kandang sendiri, kali ini ditumbangkan oleh Marseille 0-1.
Rangkaian performa buruk ini membuat Louis
Nicollin berang. “Tiga perempat dari pemain tim saya brengsek”, ucap Nicollin.
Nicollin mungkin terlalu dini untuk merasa kesal, tapi hal ini menjadi wajar
karena timnya adalah juara bertahan dan kini mereka berada di zona degradasi. Timnya
hanya mampu mencetak dua gol sambil kebobolan empat gol dari tiga pertandingan
awal Ligue 1.
Montpellier tentu akan kesulitan untuk
mempertahankan gelar juara di musim ini. PSG yang kembali membeli pemain-pemain
bintang kelas wahid untuk mencapai ambisinya yang tertunda, Lyon yang ingin
kembali menjadi juara setelah sempat sangat dominan dengan memuncaki klasemen
Ligue 1 selama rentang waktu 2002-2008, atau Marseille yang sejauh ini nyaman
di puncak klasemen dan belum terkalahkan setelah meraih tiga kemenangan
berturut-turut.
Para pencinta tim underdog dan penuh kejutan sepertinya tidak bisa berharap banyak
lagi kepada tim ini untuk kembali juara. Kita mungkin tidak bisa melihat lagi
Louis Nicollin mengubah warna rambutnya menjadi warna kebanggaan klubnya. Montpellier
bisa saja malah harus berjuang untuk tidak terdegradasi di akhir musim nanti.
Atau malah mereka akan mengikuti apa yang terjadi pada Petrokimia Putra Gresik
setelah menjadi juara Divisi Utama Liga Indonesia 2002? Mari kita ikuti
bersama.
No comments:
Post a Comment